Mengapa Orang Kaya Menjadi Lebih Kaya Dan Orang Miskin Menjadi Lebih Miskin ?

 

KARENA ORANG KAYA SUKA BEKERJA KERAS, DAN ORANG MISKIN SUKA BERMALAS-MALASAN

"Kalau mau sukses di usia muda, ya harus kerja keras", begitu kata mbak-mbak yang harta kekayaan bapaknya Rp 14 Triliun. Sayangnya kemiskinan tidak sesederhana karena orangnya malas berusaha, dan kekayaan tidak sesederhana karena orangnya rajin kerja keras.



Anda kenal mbak-mbak diatas? Saya beli nasi goreng harga 40 ribu saja pikir-pikir, mbak ini beli nasi goreng harga 400 juta sudah kayak beli permen di warung. Pengen bisa kaya seperti mbak ini? Oh tidak semudah itu ferguso. Anda perlu kerja keras, belajar terus menerus, kreatifitas, inovasi, dan tentunya paman yang kabarnya jadi CEO Tencent.

Beberapa tahun terakhir ini, lebih tepatnya sejak terjun di dunia bisnis dan sosial masyarakat, saya sedikit banyak mempelajari terkait fenomena kehidupan si kaya dan si miskin. Baik dari buku, artikel, pengamatan langsung, maupun berdiskusi langsung dengan narasumber dari berbagai kalangan.

Dalam tulisan yang panjang ini, saya mencoba berbagi tentang pengalaman saya bertukar pikiran dengan orang yang kesehariannya duitnya minus, hidupnya dari utang, sampai orang yang duitnya miliaran bahkan triliunan. Bahwa ternyata kemiskinan dan kekayaan tidak sesederhana yang banyak orang bayangkan. Kita harus paham, kaya dan miskin ini ada karena struktural (kondisi), maupun kultural (kebiasaan).

Saya akan mencoba mengulas dari berbagai sudut pandang agar lebih adil, mengapa orang kaya menjadi lebih kaya dan orang miskin menjadi lebih miskin?


CHAPTER 1 : SIKLUS LINGKARAN KEMISKINAN



Sama seperti kata bapak menteri yang satu ini : Muhadjir: Keluarga Miskin Besanan, Lahir Keluarga Miskin Baru

. Ironis sebenarnya, menurut saya ini ucapan yang cukup "nylekit", cenderung kurang sopan, kurang berempati, tapi sayangnya kebanyakan ya memang seperti itulah kondisinya

Tidak sedikit saya menjumpai fenomena yang disebutkan pak menteri diatas. Karena keterbatasan finansial, susah mau liburan, akhirnya hiburannya ya lebih banyak ke seks, ya karena mudah, murah, enak. Apalagi yang masih berprinsip "banyak anak banyak rezeki", yang sebenarnya menurut saya kalimatnya ada yang kurang, kalimat lengkapnya mungkin begini : "banyak anak banyak rezeki, yang harus dicari"

Ketika kondisi finansial kurang memadai, lalu jumlah anak tidak sedikit, apa yang terjadi? Kurang gizi, pendidikan rendah, kualitas hidup rendah, dan lain sebagainya. Seringkali karena keterbatasan finansial, keterbatasan akses, anak-anak ini tumbuh sebagaimana kedua orang tuanya, dan menciptakan siklus baru yang tidak jauh berbeda. Disinilah terjadinya lingkaran kemiskinan

"Eh mas, ada kok anak orang miskin yang akhirnya bisa sukses"

Iya saya sepakat, memang "ada", tapi tidak banyak. Guru saya, coach Dr. Fahmi, beliau juga anak petani kecil, tapi sekarang suksesnya luar biasa, dan menginspirasi kehidupan ribuan orang. Disisi lain, di kampung istri saya, tidak sedikit dari laki-lakinya bekerja jadi TKI di negeri seberang, jadi pekerja konstruksi, baik bapak maupun anaknya, dan ini sudah lintas generasi. Apakah TKI buruk? Ya enggak juga sih, saya hanya mencoba memberikan perbandingan yang pernah saya saksikan sendiri


CHAPTER 2 : SIKLUS LINGKARAN KEKAYAAN



Kapan hari, saya bertemu dengan saudara dari rekan saya, anak muda, yang bisnisnya adalah persewaan kapal tongkang. Bagi yang belum tau apa itu kapal tongkang, kira-kira begini wujudnya :



Dimana level saya masih di menyewa kapal bebek yang dikayuh, itupun kadang nawar, nah dia di usia semuda itu sudah bisnis sewa kapal tongkang. Mungkin Anda sudah bisa menebak, ya seperti yang Anda pikirkan, anak muda ini keluarga besarnya memang kebanyakan pengusaha tambang. Keluarga besarnya punya tambang batu bara, nikel, minyak, tanah ratusan atau bahkan ribuan hektar, dan lain sebagainya.

Anak-anak raja, kebanyakan juga akan tumbuh menjadi raja. Entah meneruskan kerajaan bapaknya, atau membuat kerajaan baru. Anak raja bergaul dengan anak raja, diskusi seputar kerajaan, hasilnya melahirkan kerajaan baru

Anak raja juga lebih melek finansial. Seringkali wawasan dan koneksinya juga bisa lebih luas, karena aksesnya memang luas. Dasar dari manajemen keuangan adalah ada uang untuk dikelola. Karena sudah ada uang untuk dikelola, sehingga anak raja lebih mudah dalam belajar dan praktek manajemen keuangan. Karena terbiasa mengelola keuangan, akhirnya cenderung lebih bisa mengembangkan keuangannya sendiri, walaupun tentu tetap melalui proses belajar, ada effortnya. Tapi tentu effortnya tidak sama dengan yang uangnya masih di angan-angan.

Jarang saya menjumpai anak raja menikah dengan anak kaum kelas proletar. Ada memang, tapi tidak banyak, yang banyak cuma ada di sinetron. Anak raja menikah dengan anak raja, melahirkan raja baru lagi. Kalaupun ada anak raja menikah dengan yang sebaliknya, minimal dia masih anak raja, masih ada modal untuk beli susu yang berkualitas, supplemen, vitamin, dan pendidikan yang tinggi yang berkualitas. Siklus ini juga cenderung berulang, dan melahirkan generasi baru yang tidak jauh berbeda dengan pendahulunya.


CHAPTER 3 : LINGKARAN KEMISKINAN KARENA PILIHAN



Tidak sedikit orang bisa menjadi miskin, tetap miskin, atau bahkan semakin miskin, seringkali karena tindakannya sendiri. Tidak jarang yang miskin bukan karena kurangnya harta, tapi karena kurangnya : mentalitas, karakter, dan keilmuannya.

Contohnya, tidak sedikit saya menjumpai kenalan saya, yang gajinya UMR atau dibawah UMR, tapi kalau ngopi di setarbak, nongkrong di richis, minimal biasa minum kopi kekinian yang lagi hits. Demo buruh nuntut kesejahteraan naik, tapi dia demo naik Ninja 250. Duitnya nggak seberapa, gayanya luar biasa.

"Ya emang kenapa mas? Kan duit-duit mereka sendiri?"

Ya nggakpapa sih, saya hanya menyampaikan contoh dari kondisi yang saya sampaikan diatas. Seringkali kondisi tercipta hanya karena tindakan kita.

Ada lagi yang banyak tidurnya, bangunnya kesiangan, sholat malam enggak, doa malam enggak, sholat wajib kelewat, diminta kerja keras malah malas, diminta ide bingung, disuruh belajar males, diajak ikut pelatihan nggak mau, sedekah ogah-ogahan, tapi pengennya kaya raya. Lihat temennya sukses iri, diajak sukses malah menyalahkan diri sendiri, menyalahkan kondisi, atau menyalahkan lainnya.

Ada juga faktor etika. Tidak sedikit saya menjumpai kenalan saya, atau orang lain yang saya lihat, mereka tetap berada dalam posisi itu justru bukan karena kompetensinya minim, tapi karena etikanya minim. Saya pernah menjumpai staff rekan saya, ya sebenarnya pintar sih, tapi kalau chat ke orang baru pakai "P, P, P", itupun chatnya jam 1 pagi, tidak membiasakan ucapan dasar : "tolong", "maaf", "terima kasih"

Ada juga faktor "kepahaman agama". Sebatas informasi, saya dulu sempat hidup di pondok pesantren selama 2 tahun, jadi sedikit banyak saya melihat dan mempelajari kehidupan disana. Tidak sedikit saya menjumpai orang nikah muda, laki-laki perempuan masih belasan tahun, belum stabil secara finasial dan emosional, bilangnya menikah untuk menyempurnakan agamanya. Di akhir cerita juga tidak sedikit saya menjumpai akhirnya cerai juga karena nggak bisa makan, wanitanya milih pulang ke rumah orang tuanya.

Sebenarnya, mereka punya pilihan dan kondisi untuk bisa berkembang, sayangnya lebih memilih untuk mengikuti keinginannya daripada kebutuhannya. Ya begitulah, seringkali orang tetap miskin, atau bahkan jatuh miskin, hanya karena malu terlihat miskin

Tapi tentunya tidak semua orang miskin seperti diatas. Diatas hanya beberapa contoh yang mungkin juga tidak sedikit saya jumpai.


CHAPTER 4 : LINGKARAN KEKAYAAN KARENA PILIHAN




Tidak jarang saya menjumpai beberapa orang yang kaya dari "proses", bukan "turunan", yang mereka hidupnya hemat dan sederhana sekali. Beberapa kali saya meeting dengan milyarder, yang ketika dirumahnya, mereka makannya tahu tempe telur, sama sayur asem.

Tidak sedikit saya menjumpai rekan-rekan saya yang kekayaannya luar biasa, religiusnya juga luar biasa. Padahal sudah kaya, sudah aman, sudah nyaman, masih sempat bangun malam, sholat malam, doa malam. Setelah subuh tidak tidur lagi, lanjut aktivitas lain, entah itu olahraga, baca buku, atau aktivitas produktif lain sebagainya.

Saya sudah pernah berdiskusi, belajar, makan bersama, dengan orang yang dulunya miskin sekali, dan sekarang pendapatannya 1,2 Miliar per hari. Saya ulang, per hari! Beliau cerita bagaimana perjuangannya, jualan karpet gulungan, bayangin karpet tebal yang digulung itu, karena saking nggak punya duitnya, karpet itu digendong, tiap hari jalan kaki belasan kilo.

Yang saya pelajari, orang-orang kaya ini lebih memilih menunda kesenangan jangka pendek untuk kesenangan jangka panjang di kemudian hari, memilih bekerja keras selagi muda, selagi bisa, selagi mampu. Mereka sudah bekerja ketika orang lain masih tidur, dan masih bekerja ketika orang lain sudah tidur.

Saya rasa saya tidak perlu terlalu banyak pada bagian ini, karena ini sudah umum, Anda bisa coba baca profil dan biografi dari : Dahlan Iskan, Chairul Tanjung, Oprah Winfrey, dan lain sebagainya.


CHAPTER 5 : KEMISKINAN KARENA KEADAAN




“Ah dia miskin karena nggak mau sekolah aja. Dikasih kesempatan sekolah, eh malah milih kerja. Dasar nggak tau investasi ilmu dia itu”

Saya pernah menjumpai seorang perempuan, orang pintar yang bahkan dapat beasiswa sekalipun, tetap memilih untuk tidak melanjutkan kuliah, dan memilih bekerja. Kenapa? Karena kalau dia kuliah, dia nggak bisa kerja maksimal. Kalau dia nggak kerja, keluarganya nggak bisa makan. Dia anak perempuan, anak pertama, yang menjadi tulang punggung keluarganya. Bapaknya meninggal, ibunya sakit-sakitan, adiknya banyak dan masih kecil-kecil.

“Ah mas, kan bisa kuliah sambil kerja, saya bisa kok, itu cuma masalah prioritas sama manajemen waktu saja!”

Saya dulu mikirnya juga gitu. Tapi ternyata perempuan ini, dia bekerja di dua tempat yang berbeda. Pagi sampai sore jadi staff administrasi pergudangan di perusahaan A, sore sampai malam jadi pelayan di rumah makan B. Dia pekerja keras, pintar, tekun, dan jujur. Nasibnya saja yang memang seperti itu.

Ada motivator MLM mengatakan :

“Anda harus berani mengambil langkah besar, berani resign, mulai bisnis sendiri. Bangun dan raih mimpi Anda sendiri. Jangan mau seumur hidup bekerja hanya untuk membesarkan mimpi orang lain”

Perempuan ini, gajinya di dua tempat kerjanya, hanya cukup untuk bertahan hidup bulan demi bulan. Kalau dia mau mulai bisnis, maka harus ada yang menjamin biaya hidup keluarganya dulu selama fase dia membangun bisnis. Belum lagi kalau perhitungan bisnisnya salah, bukan hanya dia yang nggak bisa makan, ibu dan adik-adiknya juga nggak bisa makan.

“Ah mas, kan bisa sambil bisnis sampingan kecil-kecilan dulu, nanti kalau sudah mulai besar, baru deh resign, fokus bisnis”

Saya dulu mikirnya juga gitu. Setelah saya lihat manajemen waktunya. Dari jam 03:00 pagi dia sudah bangun, menyiapkan segalanya untuk keluarganya. Setelah itu langsung kerja, karena jarak rumah dan tempat kerjanya itu perjalanan waktu 1 jam lebih. Lalu pulang kerumah jam 21:30 malam. Masih harus beres-beres rumah, ngajari adiknya pelajaran sekolah karena nggak ada duit untuk les, baru istirahat lagi sekitar jam 12 malam. Saya juga heran dengan ritme seperti itu selama beberapa tahun terakhir, dia masih bisa hidup dan sehat, nggak mati, luar biasa sekali.

“Kenapa nggak menikah saja? Cari laki-laki yang kaya gitu? Atau laki-laki yang minimal juga bekerja lah, biar lumayan terbantu ekonominya”

Saya juga kurang tau. Tapi tanpa bermaksud merendahkan, biasanya laki-laki tertarik pada perempuan yang berparas menawan, ya setidaknya good looking lah. Saya rasa, secara umum dia belum masuk dalam kriteria itu, mungkin karena skincarenya cuma pakai air wudhu. Dia sebenarnya mempesona, kalau dilihatnya pakai hati, bukan pakai mata. Bagaimanapun juga manusia ini makhluk visual, lihatnya pakai mata duluan. Ada sih yang lihat pakai hati, tapi tidak banyak.

Saya kurang tau kenapa Allah menempatkan perempuan ini pada posisi tersebut, tapi saya yakin Allah menyiapkan sesuatu terbaik untuk perempuan ini. Sesuatu yang jauh diluar ekspektasi saya, atau mungkin ekspektasi Anda juga. Saya yakin Allah itu maha adil. Pasti ada reward luar biasa dibalik kerja keras perempuan ini.

Saya kurang tau bagaimana kabar perempuan ini sekarang. Saya bertemu dia dulu tahun 2016, di kereta ekonomi Surabaya-Banyuwangi. Kebetulan saat itu saya kehabisan tiket eksekutif. Sepertinya Allah berniat untuk mengajarkan pada saya tentang kehidupan, dengan dipertemukan ke perempuan tangguh ini. Selama 6 jam di perjalanan kami bertukar cerita, dan dia membuka mata saya tentang dunia yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.

“Ah mas kan baru bertemu 6 jam, mengapa saya bisa percaya ceritanya? Bagaimana kalau ceritanya dibuat-buat?”

Saya juga kurang tau mengapa saya percaya, mungkin karena saya sudah pernah bertukar pikiran dengan lebih dari ratusan orang, dengan berbagai kelas, berbagai latar belakang. Sedikit banyak saya belajar membedakan mana orang jujur dan mana yang sebaliknya. Disamping memang saya sempat melihat transkrip nilainya. Jadi dia baru dapat panggilan kerja di Surabaya, dan gagal di interview, jadi balik lagi ke kota asalnya.

Ya begitulah hidup, beberapa dari kita terlahir dengan modal finansial yang kuat, modal keluarga yang baik, modal koneksi yang luas, dan beberapa lainnya terlahir hanya dengan modal hati yang kuat.


CHAPTER 6 : KEKAYAAN KARENA KEADAAN




Tidak sedikit dari kita mengidolakan banyak pengusaha-pengusaha hebat, seperti : Bill Gates, Elon Musk, Jeff Bezoz, Nadiem Makarim, dan lain sebagainya. Yang sering tidak kita lihat, tidak jarang dibalik orang hebat, ada orang yang lebih hebat lagi. Seringkali kita hanya melihat hasil akhirnya, tapi tidak melihat titik mulainya darimana, dan bagaimana "support system" dibaliknya. Silahkan googling siapa bapaknya Bill Gates, Elon Musk, Jeff Bezoz, sama Nadiem Makarim.

Bukan berarti mereka kaya hanya karena bapaknya kaya, tapi karena memang bisa memanfaatkan privileges yang dimiliki, sehingga bisa jauh lebih maksimal dibanding yang lain. Mau sekaya apapun bapaknya, kalau dianya goblok ya percuma juga, kalau nggak bisa mengelola keuangan, ya bakal habis juga uangnya.

Saya punya teman yang kedua orang tuanya dokter spesialis, punya lab juga, yang rata-rata total pendapatan minimal kedua orang tuanya diatas 200 juta/bulan, ini minimal, paling kecil. Uang sakunya dia ketika kuliah di luar negeri, itu kalau dirupiahkan sekitar 60 juta/bulan.

Ketika SMA, dia les privat dengan guru-guru terbaik, yang sebulan untuk les saja bisa habis jutaan atau belasan juta. Dimana saat itu saya dulu mau ikut les harga sejuta saja sudah pikir-pikir, duitnya darimana. Karena pendidikan yang terjamin ini, teman saya mulus juga jalannya. Ya disamping memang dia juga pintar sih.

Lulus SMA, saya dan dia diterima kuliah di luar negeri. Saya sempat lolos tes beasiswa di NTU, Singapura, dan dia lolos di kampus swasta bonafide di negara maju juga. Bedanya, saya nggak berangkat karena nggak ada duit, dan dia berangkat. Di akhir cerita, dia nggak selesai kuliahnya, bukan karena nggak mampu, tapi karena nggak mau, lalu kemudian dia mulai bisnis. Ya walaupun dia cerita nggak pakai modal uang dari orang tuanya, tapi sejak kecil modal koneksinya juga sudah luar biasa. Jadi ya seperti yang bisa ditebak hasil akhirnya bagaimana.


CHAPTER 7 : PENUTUP



Sebagian sibuk belajar, sebagian sibuk bertahan hidup

Kita tidak bisa memilih terlahir dari orang tua yang seperti apa, tapi kita bisa memilih menjadi orang tua yang seperti apa. Tidak ada yang salah dengan dilahirkan oleh siapapun, pada kondisi apapun. Pada dasarnya kita selalu memiliki pilihan dalam hidup. Bijaklah dalam memilih, terima pilihan tersebut, jalani sebaik mungkin dengan bahagia dan hati yang selalu bisa bersyukur.

Bagi Anda yang mungkin terlahir dari keluarga berada, bersyukurlah, kembangkan, dan bantulah orang lain untuk mencapai tujuan mulia mereka. Sebaliknya, bagi Anda yang terlahir dalam keluarga pra sejahtera, Anda tidak punya pilihan selain bekerja lebih keras, lebih cerdas, tingkatkan wawasan, keilmuan, dan relasi Anda.

Sebenarnya hidup ini adil, Allah itu maha adil, hanya saja terkadang kita seringkali lupa bersyukur atas apa yang Allah berikan pada kita. Rezeki tidak selalu berupa uang, rezeki bisa berupa kesehatan, keluarga yang bahagia, dan lain sejenisnya.

Bandingkan diri Anda dengan yang diatas untuk menjadi motivasi, dan bandingkan diri Anda dengan yang dibawah untuk menambah rasa syukur Anda. Teruslah hidup untuk bisa memberi arti.


"Orang lain tidak akan peduli tentang seberapa banyak yang anda tahu, sampai mereka tahu tentang seberapa banyak anda peduli" - John Maxwell

 

Sumber https://id.quora.com/Mengapa-orang-kaya-menjadi-lebih-kaya-dan-orang-miskin-menjadi-lebih-miskin

Comments

Popular posts from this blog

4 Kebiasaan Baik Yang Mempengaruhi Hidup

Bisa Karena Terbiasa