3 Pelajaran Bisnis dari Kasus Kejatuhan NET TV
Menyusul
rumor tentang PHK karyawan NET TV, akhirnya manajemen Net mengakui memang ada
proses efisiensi jumlah karyawan. Para karyawan secara sukarela diminta untuk
mengundurkan diri demi perampingan organisasi.
Penyebabnya
jelas : kinerja bisnis dan keuangan Net TV masih mengecewakan. Bahkan sejak
tahun lalu lalu, penyandang dana Indika Group resmi mundur alias pecah kongsi
dengan pengelola Net TV.
Net TV didirikan oleh Wishnutama, figur brilian dalam industri televisi, yang dulu juga sempat membuat TransTV berjaya dengan aneka programnya yang memukau. Mungkin karena ingin lebih bebas menyuarakan idealisme dan visi-nya, Wishnutama memilih mundur dari TransGroup, dan kemudian mendirikan sendiri stasiun televisi dengan nama NET TV.
Penyandang
dananya adalah Indika Group yang menyediakan dana hingga triliunan rupiah.
Namun setelah berjalan lebih dari enam tahun sejak berdiri tahun 2013, ternyata
kinerja bisnis dan keuangan Net TV tidak sesuai harapan. Rating-nya masih kalah
jauh dengan stasiun televisi lain.
Alhasil
pendapatan iklan juga seret. Pada sisi lain, biaya yang dikeluarkan sangat
masif. Termasuk investasi untuk menggunakan teknologi High Definition TV yang
amat mahal. Teknologi HD ini yang bikin kualitas gambar Net TV paling bagus
dibanding stasiun televisi lainnya.
Namun
dalam tulisan kali ini, saya ingin mengajak Anda semua untuk menelisik tiga
pelajaran bisnis yang bisa kita petik dari kasus kegagalan bisnis Net TV ini. 3
pelajaran bisnis ini bisa diaplikasikan dalam arena bisnis lain, dan tidak
hanya terbatas dalam bisnis televisi. Mari kita bedah satu demi satu.
Pelajaran
Bisnis #1 : Salah
dalam Membidik Target Market
Sejak awal, program NET TV memang sudah didesain
untuk kalangan menengah atas yang tinggal di kota-kota besar. Konsep programnya
mengarah pada target market kaum profesional (kelas premium) yang tinggal di
kota-kota besar Indonesia.
Target market yang cerdik sejatinya, sebab jadi berbeda
dengan target market TV lainnya yang lebih menyasar kelas menengah ke bawah
yang tinggal di desa atau kota-kota kecil Indonesia. Problem besarnya adalah
ini : target market yang dibidik NET TV sudah direbut habis oleh Youtube,
Instagram Stories dan layanan TV streaming seperti Netflix, Hooq, Iflix, dkk.
Dengan kata lain, target market NET TV sudah lenyap, atau makin kecil
populasinya.
Sebab sebagian besar sudah melakukan migrasi besar-besaran ke
layar hape demi menyimak Youtube, IG atau Netflix. Dan itu petaka bagi sebuah
bisnis. Ibaratnya Anda mau menjual produk, namun potensi pasarnya sudah tidak
ada. Jualan Anda tidak akan laku, karena tidak ada lagi pembelinya. Yang kelam
: layanan program NET TV sejatinya lumayan bagus.
Konsepnya kreatif. Sentuhan tangan
dingin Wishnutama sebagai sang jenius kelihatan sekali dalam beragam acara Net
TV. Namun produk yang bagus tetap tidak akan laku, kalau dijual pada pasar yang
kosong melompong. Ibaratnya, Anda jualan produk hebat namun di pasar yang sudah
seperti rumah hantu. Sudah lama tidak ada penghuni dan pengunjungnya.
Itulah
pelajaran marketing yang amat penting dari kasus NET TV. Saat Anda salah
menentukan segmen pasar dan target market, maka bisnis Anda akan kolaps.
Kesalahan Net TV adalah memilih target market kelas premium yang sudah lama
enggan menonton layar televisi.
Sebaliknya, target market terbesar bisnis TV
itu adalah orang-orang yang masih suka nonton sinetron Tukang Bubur Naik Haji,
Cinta Fitri atau Tukang Ojek Pengkolan. Dana iklan triliunan ada dalam sinetron
seperti itu, bukan dalam konsep program yang dibuat oleh NET TV. Akibatnya :
pendapatan iklan Net TV seret, dan akhirnya terus mengalami kerugian karena
biaya opersional TV sangatlah tinggi.
Pelajaran
Bisnis #2 : Idealisme
dan Passion adalah Bullshit.
Wishnutama adalah figur kreatif dalam industri
televisi. Dia punya idealisme dan passion untuk menghadirkan layanan program TV
yang kreatif dan tidak abal-abal.
Dan dia sebenarnya sangat berhasil dalam hal ini. But business is business. Business is all about making money. Kalau produk yang Anda jual sudah sesuai passion dan visi Anda, namun kemudian tidak ada yang mau beli, lalu keluargamu mau makan apa? Dulu saat di Trans TV, visi dan passion Wishnutama bisa berkibar, namun tetap ada rambu bisnis dari sang pemiliknya yakni CT (Chairul Tanjung).
Jadi ada kombinasi yang pas : ada program kreatif yang bagus, namun ada juga program yang memang ditujukan untuk mendapat uang. Sebab pada akhirnya, uang juga yang bisa membuat semua operasi bisnis bisa terus berjalan. Kalau tidak ada profit, ya akhirnya akan bubar jalan.
Pelajarannya adalah : kombinasikan passion dengan profit dan market demand. Kombinasi maut akan terjadi saat passion dalam bidang yang kita geluti, juga ternyata memiliki potensi pembeli yang banyak, dan karena itu bisa hasilkan profit yang maknyuss. Saat Anda terlalu memburu passion personal, dan gagal melihat potensi pasar, maka Anda akan terpelanting menjadi sang pujangga yang kesepian dan jatuh miskin.
Dan dia sebenarnya sangat berhasil dalam hal ini. But business is business. Business is all about making money. Kalau produk yang Anda jual sudah sesuai passion dan visi Anda, namun kemudian tidak ada yang mau beli, lalu keluargamu mau makan apa? Dulu saat di Trans TV, visi dan passion Wishnutama bisa berkibar, namun tetap ada rambu bisnis dari sang pemiliknya yakni CT (Chairul Tanjung).
Jadi ada kombinasi yang pas : ada program kreatif yang bagus, namun ada juga program yang memang ditujukan untuk mendapat uang. Sebab pada akhirnya, uang juga yang bisa membuat semua operasi bisnis bisa terus berjalan. Kalau tidak ada profit, ya akhirnya akan bubar jalan.
Pelajarannya adalah : kombinasikan passion dengan profit dan market demand. Kombinasi maut akan terjadi saat passion dalam bidang yang kita geluti, juga ternyata memiliki potensi pembeli yang banyak, dan karena itu bisa hasilkan profit yang maknyuss. Saat Anda terlalu memburu passion personal, dan gagal melihat potensi pasar, maka Anda akan terpelanting menjadi sang pujangga yang kesepian dan jatuh miskin.
Pelajaran
Bisnis #3 : Kompetisi Digital Yang Makin Kompleks
Yang membuat babak belur NET TV ini ternyata bukan
pesaing tradisional dari sesama staisun televisi lainnya. Sebab seperti yang
diulas di depan, segmen pasar mereka berbeda. Namun ternyata pesaing yang
menghantam bisnis NET TV datang dari tempat yang sangat powerful, yakni
kekuatan layar hape yang makin variatif kontennya.
Youtube, Instagram Stories dan
Netflix adalah pesaing disruptif yang menghancurkan potensi bisnis Net TV. Dan
kekuatan digital players itu terlalu tangguh untuk dilawan. Pelajarannya :
dalam era digital disruptif seperti saat ini, potensi persaingan ternyata
memang bisa datang dari arah yang tak teduga.
Artinya bukan hanya datang dari
pesaing tradisional atau dari pelaku bisnis yang sama. Rival bisa datang dari
mana saja. Misal pesaing bank kelak bisa bukan sesama bank saja, namun juga
dari layanan dompet digital dan peer-to-peer lending (layanan pinjam dana dari
sesama pengguna internet). Pesaing hotal datang dari AirBnB. Pesaing toko buku
Gramedia datang dari Facebook dan Twitter (sebab orang sekarang lebih suka baca
status FB atau Twitter, daripada baca buku bagus).
Kalau kata pakar manajemen
Michael Porter, ancaman tidak hanya datang dari rival penyedia produk yang
sama, namun juga datang dari “produk subtitusi” atau produk pengganti yang
dirasa lebih memuaskan keinginan pelanggan.
DEMIKINLAH,
tiga pelajaran bisnis yang bisa kita petik dari kisah kegagalan NET TV untuk
menjadi stasiun televisi yang kreatif namun sekaligus profitabel. Pelajaran
bisnis ini berharga bagi pelaku bisnis lainnya. Tiga pelajarannya adalah :
1.
Jangan salah menentukan target market
2. Tanpa profit, passion adalah omong
kosong.
3. Rival bisnis bisa datang kapan saja, dari arah yang tak terduga.
Source :
Blog Strategi Manajemen, www.stategimanajemen.net
Written
by : Yodhia Antariksa Source Gambar : www.pexels.com
Comments
Post a Comment