Kesembuhan Melalui Metode Syirik


Praktek Perdukunan

Tercapainya Tujuan, Belum Tentu Menunjukkan Benarnya Cara yang Ditempuh
Kalau memang itulah ukuran kebenaran, maka salah satu konsekuensinya, ilmu sihir itu boleh dan tidak syirik. Karena telah terbukti bahwa tukang sihir Yahudi pun berhasil menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَهُودِىٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِى زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَمِ – قَالَتْ – حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّىْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ …
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq, yang bernama Labid bin Al-A’sham. Sehingga karena pengaruh sihir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya … “ (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 5832)

Oleh karena itu, bisa jadi ketika suatu ketika kita sampaikan bahwa ilmu sihir adalah haram dan termasuk perbuatan kekafiran, serta merta “orang-orang cerdas” di antara mereka mungkin saja membantahnya dengan mengatakan, ”Buktinya, Nabi saja pernah terkena sihir? Kalau memang kufur, mengapa Nabi bisa tersihir? Saya baru percaya bahwa ilmu sihir itu syirik kalau Allah tidak membuat sihir itu benar-benar berpengaruh. Kalau sihir itu terbukti menimbulkan pengaruh, berarti boleh dan tidak syirik!”

Atau bisa jadi kalau suatu ketika kita menyampaikan, ”Jangan berdoa ke kubur wali, karena itu syirik.” Bisa jadi mereka membantahnya dengan mengatakan, ”Buktinya, keinginan kami terkabul. Kami berhasil mendapatkan harta pesugihan. Justru kalau kami berdoa kepada Allah, kami ini tidak segera menjadi orang kaya!”

Inilah ukuran-ukuran yang dipakai oleh orang-orang yang telah buta hatinya untuk menilai benar tidaknya suatu perbuatan. Yang menjadi ukuran bukanlah dalil syariat, kitabullah, atau hadits Rasulullah, tetapi yang menjadi ukuran adalah realita dan bukti keberhasilan duniawi yang mereka peroleh.

Maka kita sampaikan kepada mereka, kalaulah memang benar itulah ukuran dalam menentukan kebenaran, maka janganlah kalian berontak kalau ada yang merampok harta dan kekayaan yang kalian miliki. Karena telah terbukti bahwa merampok adalah cara paling cepat dalam memperoleh harta, berarti merampok itu halal dan tidak haram. Kalau begitu, jangan marah juga kalau ada koruptor yang mengkorupsi uang negara. Karena telah terbukti bahwa dengan korupsi, seseorang cepat memperoleh kekayaan yang melimpah.

Kalau begitu, jangan marah juga kalau ada yang berzina dengan anak-anak kalian. Karena terbukti bahwa dengan berzina kita pun dapat memperoleh keturunan, maka berarti berzina itu boleh. Konsekuensi lainnya, menyontek saat ujian itu juga boleh. Karena terbukti bahwa dengan menyontek, kita bisa lulus dengan nilai memuaskan. Apakah kalian menerima konsekuensi-konsekuensi ini? Tentu tidak.

Oleh karena itu, berhasilnya tujuan bukanlah ukuran benarnya cara yang ditempuh. Sihir tetaplah perbuatan syirik  meskipun berhasil menimbulkan pengaruh terhadap Rasulullah. Merampok dan korupsi tetap haram, meskipun terbukti bahwa merampok merupakan cara yang mudah memperoleh harta. Berzina tetap saja dosa besar, meskipun telah terbukti bahwa dengan berzina kita juga bisa mendapatkan keturunan. Demikian pula, berobat ke dukun (paranormal) tetap syirik meskipun “terbukti” ada yang sembuh.

Tercapainya Tujuan, Belum Tentu Menunjukkan Benarnya Cara yang Ditempuh
Kalau memang itulah ukuran kebenaran, maka salah satu konsekuensinya, ilmu sihir itu boleh dan tidak syirik. Karena telah terbukti bahwa tukang sihir Yahudi pun berhasil menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,
سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَهُودِىٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِى زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَمِ – قَالَتْ – حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّىْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ …
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq, yang bernama Labid bin Al-A’sham. Sehingga karena pengaruh sihir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya … “ (HR. Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 5832)
Oleh karena itu, bisa jadi ketika suatu ketika kita sampaikan bahwa ilmu sihir adalah haram dan termasuk perbuatan kekafiran, serta merta “orang-orang cerdas” di antara mereka mungkin saja membantahnya dengan mengatakan, ”Buktinya, Nabi saja pernah terkena sihir? Kalau memang kufur, mengapa Nabi bisa tersihir? Saya baru percaya bahwa ilmu sihir itu syirik kalau Allah tidak membuat sihir itu benar-benar berpengaruh. Kalau sihir itu terbukti menimbulkan pengaruh, berarti boleh dan tidak syirik!”
Atau bisa jadi kalau suatu ketika kita menyampaikan, ”Jangan berdoa ke kubur wali, karena itu syirik.” Bisa jadi mereka membantahnya dengan mengatakan, ”Buktinya, keinginan kami terkabul. Kami berhasil mendapatkan harta pesugihan. Justru kalau kami berdoa kepada Allah, kami ini tidak segera menjadi orang kaya!”
Inilah ukuran-ukuran yang dipakai oleh orang-orang yang telah buta hatinya untuk menilai benar tidaknya suatu perbuatan. Yang menjadi ukuran bukanlah dalil syariat, kitabullah, atau hadits Rasulullah, tetapi yang menjadi ukuran adalah realita dan bukti keberhasilan duniawi yang mereka peroleh.
Maka kita sampaikan kepada mereka, kalaulah memang benar itulah ukuran dalam menentukan kebenaran, maka janganlah kalian berontak kalau ada yang merampok harta dan kekayaan yang kalian miliki. Karena telah terbukti bahwa merampok adalah cara paling cepat dalam memperoleh harta, berarti merampok itu halal dan tidak haram. Kalau begitu, jangan marah juga kalau ada koruptor yang mengkorupsi uang negara. Karena telah terbukti bahwa dengan korupsi, seseorang cepat memperoleh kekayaan yang melimpah.
Kalau begitu, jangan marah juga kalau ada yang berzina dengan anak-anak kalian. Karena terbukti bahwa dengan berzina kita pun dapat memperoleh keturunan, maka berarti berzina itu boleh. Konsekuensi lainnya, menyontek saat ujian itu juga boleh. Karena terbukti bahwa dengan menyontek, kita bisa lulus dengan nilai memuaskan. Apakah kalian menerima konsekuensi-konsekuensi ini? Tentu tidak.
Oleh karena itu, berhasilnya tujuan bukanlah ukuran benarnya cara yang ditempuh. Sihir tetaplah perbuatan syirik  meskipun berhasil menimbulkan pengaruh terhadap Rasulullah. Merampok dan korupsi tetap haram, meskipun terbukti bahwa merampok merupakan cara yang mudah memperoleh harta. Berzina tetap saja dosa besar, meskipun telah terbukti bahwa dengan berzina kita juga bisa mendapatkan keturunan. Demikian pula, berobat ke dukun (paranormal) tetap syirik meskipun “terbukti” ada yang sembuh.


Sumber: https://muslim.or.id/34631-kesembuhan-melalui-metode-syirik-02.html

Comments

Popular posts from this blog

4 Kebiasaan Baik Yang Mempengaruhi Hidup

Mengapa Orang Kaya Menjadi Lebih Kaya Dan Orang Miskin Menjadi Lebih Miskin ?

Bisa Karena Terbiasa